Taaruf adalah kegiatan
bersilaturahmi, kalau pada masa ini kita bilang berkenalan bertatap
muka, atau main/bertamu ke rumah seseorang dengan tujuan berkenalan
dengan penghuninya. Bisa juga dikatakan bahwa tujuan dari berkenalan
tersebut adalah untuk mencari jodoh. Taaruf bisa juga dilakukan jika
kedua belah pihak keluarga setuju dan tinggal menunggu keputusan anak
untuk bersedia atau tidak untuk dilanjutkan ke jenjang khitbah - taaruf
dengan mempertemukan yang hendak dijodohkan dengan maksud agar saling
mengenal.
Sebagai sarana yang objektif dalam melakukan pengenalan
dan pendekatan, taaruf sangat berbeda dengan pacaran. Taaruf secara
syar`i memang diperintahkan oleh Rasulullah SAW bagi pasangan yang ingin
nikah. Perbedaan hakiki antara pacaran dengan ta’aruf adalah dari segi
tujuan dan manfaat. Jika tujuan pacaran lebih kepada kenikmatan sesaat,
zina, dan maksiat. Taaruf jelas sekali tujuannya yaitu untuk mengetahui
kriteria calon pasangan.
2. Apakah Perbedaan Pacaran dan Ta'aruf ?
Dalam pacaran, mengenal dan mengetahui hal-hal tertentu calon pasangan
dilakukan dengan cara yang sama sekali tidak memenuhi kriteria sebuah
pengenalan. Ibarat seorang yang ingin membeli motor second, tapi tidak
melakukan pemeriksaan, dia cuma memegang atau mengelus motor itu tanpa
pernah tahu kondisi mesinnya. Bahkan dia tidak menyalakan mesin atau
membuka kap mesinnya. Bagaimana mungkin dia bisa tahu kelemahan dan
kelebihan motor itu.
Sedangkan taaruf adalah seperti seorang
montir motor yang ahli memeriksa mesin, sistem kemudi, sistem rem,
sistem lampu dan elektrik, roda dan sebagainya. Bila ternyata cocok,
maka barulah dia melakukan tawar-menawar. Ketika melakukan taaruf,
seseorang baik pihak pria atau wanita berhak untuk bertanya yang
mendetil, seperti tentang penyakit, kebiasaan buruk dan baik, sifat dan
lainnya. Kedua belah pihak harus jujur dalam menyampaikannya. Karena
bila tidak jujur, bisa berakibat fatal nantinya. Namun secara teknis,
untuk melakukan pengecekan, calon pembeli tidak pernah boleh untuk
membawa pergi motor itu sendiri.
3. Ada Suatu Pertanyaan Seperti ini ?
a. Bagaimana hukum berkunjung ke rumah akhwat (wanita) yang hendak
dinikahi dengan tujuan untuk saling mengenal karakter dan sifat
masing-masing?
أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوْجَهُنَّ ..
“Katakan kepada kaum mukminin hendaklah mereka menjaga pandangan serta
kemaluan mereka –hingga firman-Nya- Dan katakan pula kepada kaum
mukminat hendaklah mereka menjaga pandangan serta kemaluan mereka .”
Dalam Shahih Muslim dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma dia berkata:
Dalam Shahih Muslim dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma dia berkata:
سَأَلْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ نَظْرِ الْفَجْأَةِ؟ فَقَالَ: اصْرِفْ بَصَرَكَ
“Aku berta kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang
pandangan yg tiba-tiba ? mk beliau bersabda: ‘Palingkan pandanganmu’.”
Adapun suara dan ucapan wanita pada asal bukanlah aurat yg terlarang.
Namun tdk boleh bagi seorang wanita bersuara dan berbicara lbh dari
tuntutan hajat dan tdk boleh melembutkan suara. Demikian juga dgn isi
pembicaraan tdk boleh berupa perkara-perkara yg membangkitkan syahwat
dan mengundang fitnah. Karena bila demikian mk suara dan ucapan menjadi
aurat dan fitnah yg terlarang. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَلاَ تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلاً مَعْرُوْفًا
“Maka janganlah kalian berbicara dgn suara yg lembut sehingga lelaki yg
memiliki penyakit dlm kalbu menjadi tergoda dan ucapkanlah perkataan yg
ma’ruf .”
Adalah para wanita datang menemui Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan di sekitar beliau hadir para shahabat
lalu wanita itu berbicara kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam menyampaikan kepentingan dan para shahabat ikut mendengarkan.
Tapi mereka tdk berbicara lbh dari tuntutan hajat dan tanpa melembutkan
suara.
4. Proses Ta'aruf
Lalu bagaimana proses taaruf yang
syar’i sehingga menuju pernikahan yang barokah? Yang pertama yaitu
tidak boleh menunggu, misalnya jarak antara taaruf dengan pernikahan
selama satu tahun. Si akhawat diminta menunggu selama satu tahun karena
ikhwannya harus bekerja terlebih dahulu atau harus menyelesaikan kuliah
dulu. Hal ini jelas mendzolimi akhawat karena harus menunggu, dan juga
apa ada jaminan bahwa saat proses menunggu itu tidak ada setan yang
mengganggu?? Yang kedua adalah tidak boleh malu-malu, jadi kalau memang
sudah siap untuk menikah sebaiknya segera untuk mengajukan diri untuk
bertaaruf. Apabila malu-malu maka ya gak jadi-jadi prosesnya, nah jadi
repot sendiri kita. Kemudian yang ketiga dapat melalui jalur mana saja.
Maksudnya adalah kita bisa meminta bantuan siapa saja untuk mencarikan
calon pendamping kita, mulai dari orang tua, murobbi, saudara, kawan
atau orang-orang yang dapat kita percaya.
Etika selama bertaaruf
yaitu jangan terburu-buru menjatuhkan cinta. Misalnya ketika kita
mendapatkan satu biodata calon pasangan tanpa mengenal lebih dalam,
tiba-tiba sudah yakin dengan pilihan itu. Alangkah baiknya jika mengenal
lebih dalam mulai dari kepribadian, fisik, dan juga latar belakang
keluarganya, sehingga nanti tidak seperti membeli kucing dalam karung.
Akan tetapi tidak terburu-buru dalam menjatuhkan cita itu juga tidak
boleh terlalu lama dan bertele-tele. Sebaiknya menanyakan hal yang
penting dan to the point. Hal ini juga untuk menghindari godaan setan
yang lebih dahyat lagi. Proses taaruf dikatakan selesai jika sudah
mendapatan tiga hal yaitu
1. Tentang budaya keluarga,
2. proyeksi masa depan dan ketiga visi hidup dari masing masing.
1. Tentang budaya keluarga,
2. proyeksi masa depan dan ketiga visi hidup dari masing masing.
Nah jika ketiga hal ini sudak didapatkan maka proses taaruf selesai,
dan berlanjut ke tingkat berikutnya apakan dilanjutkan atau tidak. Jika
iya maka segera untuk ditindak lajuti bersama dengan pihak keluarga
kedua belah pihak kalau istilah jawanya “rembug tuwo”. Dan ingat pada
saat proses menunggu datangnya hari bahagia itu godaan setan akan
bertumpuk-tumpuk, akan ada saja yang menggoda kita melalui berbagai
macam hal. Jadi untuk menghindari itu perbanyak dzikir mengingat Allah,
dan memperbaiki hubungan dengan Allah. Karena dengan itu maka Allah akan
senantiasa melindungi hati kita, pikiran kita dan tindakan kita dari
hal-hal yang dilarang.
5. Kesimpulan
Dengan demikian
jelaslah bahwa pacaran bukanlah alternatif yang ditolerir dalam Islam
untuk mencari dan memilih pasangan hidup. Menjadi jelas pula bahwa tidak
boleh mengungkapkan perasaan sayang atau cinta kepada calon istri
selama belum resmi menjadi istri. Baik ungkapan itu secara langsung atau
lewat telepon, ataupun melalui surat. Karena saling mengungkapkan
perasaan cinta dan sayang adalah hubungan asmara yang mengandung makna
pacaran yang akan menyeret ke dalam fitnah. Demikian pula halnya
berkunjung ke rumah calon istri atau wanita yang ingin dilamar dan
bergaul dengannya dalam rangka saling mengenal karakter dan sifat
masing-masing, karena perbuatan seperti ini juga mengandung makna
pacaran yang akan menyeret ke dalam fitnah. Wallahul musta’an (Allah-lah
tempat meminta pertolongan).
Adapun cara yang ditunjukkan oleh
syariat untuk mengenal wanita yang hendak dilamar adalah dengan mencari
keterangan tentang yang bersangkutan melalui seseorang yang mengenalnya,
baik tentang biografi (riwayat hidup), karakter, sifat, atau hal
lainnya yang dibutuhkan untuk diketahui demi maslahat pernikahan. Bisa
pula dengan cara meminta keterangan kepada wanita itu sendiri melalui
perantaraan seseorang seperti istri teman atau yang lainnya. Dan pihak
yang dimintai keterangan berkewajiban untuk menjawab seobyektif mungkin,
meskipun harus membuka aib wanita tersebut karena ini bukan termasuk
dalam kategori ghibah yang tercela. Hal ini termasuk dari enam perkara
yang dikecualikan dari ghibah, meskipun menyebutkan aib seseorang.
Demikian pula sebaliknya dengan pihak wanita yang berkepentingan untuk
mengenal lelaki yang berhasrat untuk meminangnya, dapat menempuh cara
yang sama.
Dalil yang menunjukkan hal ini adalah hadits Fathimah
bintu Qais ketika dilamar oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan Abu Jahm,
lalu dia minta nasehat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
maka beliau bersabda:
“Adapun Abu Jahm, maka dia adalah lelaki
yang tidak pernah meletakkan tongkatnya dari pundaknya . Adapun
Mu’awiyah, dia adalah lelaki miskin yang tidak memiliki harta.
Menikahlah dengan Usamah bin Zaid.” (HR. Muslim)
Para ulama juga
menyatakan bolehnya berbicara secara langsung dengan calon istri yang
dilamar sesuai dengan tuntunan hajat dan maslahat. Akan tetapi tentunya
tanpa khalwat dan dari balik hijab. Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin dalam
Asy-Syarhul Mumti’ (130-129/5 cetakan Darul Atsar) berkata: “Bolehnya
berbicara dengan calon istri yang dilamar wajib dibatasi dengan syarat
tidak membangkitkan syahwat atau tanpa disertai dengan menikmati
percakapan tersebut. Jika hal itu terjadi maka hukumnya haram, karena
setiap orang wajib menghindar dan menjauh dari fitnah.”
Perkara
ini diistilahkan dengan ta’aruf. Adapun terkait dengan hal-hal yang
lebih spesifik yaitu organ tubuh, maka cara yang diajarkan adalah dengan
melakukan nazhor, yaitu melihat wanita yang hendak dilamar. Nazhor
memiliki aturan-aturan dan persyaratan-persyaratan yang membutuhkan
pembahasan khusus .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar