Selasa, 13 Januari 2015

TA'ARUFAN DAN PACARAN DALAM ISLAM

Taaruf adalah kegiatan bersilaturahmi, kalau pada masa ini kita bilang berkenalan bertatap muka, atau main/bertamu ke rumah seseorang dengan tujuan berkenalan dengan penghuninya. Bisa juga dikatakan bahwa tujuan dari berkenalan tersebut adalah untuk mencari jodoh. Taaruf bisa juga dilakukan jika kedua belah pihak keluarga setuju dan tinggal menunggu keputusan anak untuk bersedia atau tidak untuk dilanjutkan ke jenjang khitbah - taaruf dengan mempertemukan yang hendak dijodohkan dengan maksud agar saling mengenal.
Sebagai sarana yang objektif dalam melakukan pengenalan dan pendekatan, taaruf sangat berbeda dengan pacaran. Taaruf secara syar`i memang diperintahkan oleh Rasulullah SAW bagi pasangan yang ingin nikah. Perbedaan hakiki antara pacaran dengan ta’aruf adalah dari segi tujuan dan manfaat. Jika tujuan pacaran lebih kepada kenikmatan sesaat, zina, dan maksiat. Taaruf jelas sekali tujuannya yaitu untuk mengetahui kriteria calon pasangan.
2. Apakah Perbedaan Pacaran dan Ta'aruf ?
Dalam pacaran, mengenal dan mengetahui hal-hal tertentu calon pasangan dilakukan dengan cara yang sama sekali tidak memenuhi kriteria sebuah pengenalan. Ibarat seorang yang ingin membeli motor second, tapi tidak melakukan pemeriksaan, dia cuma memegang atau mengelus motor itu tanpa pernah tahu kondisi mesinnya. Bahkan dia tidak menyalakan mesin atau membuka kap mesinnya. Bagaimana mungkin dia bisa tahu kelemahan dan kelebihan motor itu.
Sedangkan taaruf adalah seperti seorang montir motor yang ahli memeriksa mesin, sistem kemudi, sistem rem, sistem lampu dan elektrik, roda dan sebagainya. Bila ternyata cocok, maka barulah dia melakukan tawar-menawar. Ketika melakukan taaruf, seseorang baik pihak pria atau wanita berhak untuk bertanya yang mendetil, seperti tentang penyakit, kebiasaan buruk dan baik, sifat dan lainnya. Kedua belah pihak harus jujur dalam menyampaikannya. Karena bila tidak jujur, bisa berakibat fatal nantinya. Namun secara teknis, untuk melakukan pengecekan, calon pembeli tidak pernah boleh untuk membawa pergi motor itu sendiri.
3. Ada Suatu Pertanyaan Seperti ini ?
a. Bagaimana hukum berkunjung ke rumah akhwat (wanita) yang hendak dinikahi dengan tujuan untuk saling mengenal karakter dan sifat masing-masing?
أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوْجَهُنَّ ..
“Katakan kepada kaum mukminin hendaklah mereka menjaga pandangan serta kemaluan mereka –hingga firman-Nya- Dan katakan pula kepada kaum mukminat hendaklah mereka menjaga pandangan serta kemaluan mereka .”
Dalam Shahih Muslim dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma dia berkata:
سَأَلْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ نَظْرِ الْفَجْأَةِ؟ فَقَالَ: اصْرِفْ بَصَرَكَ
“Aku berta kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang pandangan yg tiba-tiba ? mk beliau bersabda: ‘Palingkan pandanganmu’.”
Adapun suara dan ucapan wanita pada asal bukanlah aurat yg terlarang. Namun tdk boleh bagi seorang wanita bersuara dan berbicara lbh dari tuntutan hajat dan tdk boleh melembutkan suara. Demikian juga dgn isi pembicaraan tdk boleh berupa perkara-perkara yg membangkitkan syahwat dan mengundang fitnah. Karena bila demikian mk suara dan ucapan menjadi aurat dan fitnah yg terlarang. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَلاَ تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلاً مَعْرُوْفًا
“Maka janganlah kalian berbicara dgn suara yg lembut sehingga lelaki yg memiliki penyakit dlm kalbu menjadi tergoda dan ucapkanlah perkataan yg ma’ruf .”
Adalah para wanita datang menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan di sekitar beliau hadir para shahabat lalu wanita itu berbicara kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan kepentingan dan para shahabat ikut mendengarkan. Tapi mereka tdk berbicara lbh dari tuntutan hajat dan tanpa melembutkan suara.
4. Proses Ta'aruf
Lalu bagaimana proses taaruf yang syar’i sehingga menuju pernikahan yang barokah? Yang pertama yaitu tidak boleh menunggu, misalnya jarak antara taaruf dengan pernikahan selama satu tahun. Si akhawat diminta menunggu selama satu tahun karena ikhwannya harus bekerja terlebih dahulu atau harus menyelesaikan kuliah dulu. Hal ini jelas mendzolimi akhawat karena harus menunggu, dan juga apa ada jaminan bahwa saat proses menunggu itu tidak ada setan yang mengganggu?? Yang kedua adalah tidak boleh malu-malu, jadi kalau memang sudah siap untuk menikah sebaiknya segera untuk mengajukan diri untuk bertaaruf. Apabila malu-malu maka ya gak jadi-jadi prosesnya, nah jadi repot sendiri kita. Kemudian yang ketiga dapat melalui jalur mana saja. Maksudnya adalah kita bisa meminta bantuan siapa saja untuk mencarikan calon pendamping kita, mulai dari orang tua, murobbi, saudara, kawan atau orang-orang yang dapat kita percaya.
Etika selama bertaaruf yaitu jangan terburu-buru menjatuhkan cinta. Misalnya ketika kita mendapatkan satu biodata calon pasangan tanpa mengenal lebih dalam, tiba-tiba sudah yakin dengan pilihan itu. Alangkah baiknya jika mengenal lebih dalam mulai dari kepribadian, fisik, dan juga latar belakang keluarganya, sehingga nanti tidak seperti membeli kucing dalam karung. Akan tetapi tidak terburu-buru dalam menjatuhkan cita itu juga tidak boleh terlalu lama dan bertele-tele. Sebaiknya menanyakan hal yang penting dan to the point. Hal ini juga untuk menghindari godaan setan yang lebih dahyat lagi. Proses taaruf dikatakan selesai jika sudah mendapatan tiga hal yaitu
1. Tentang budaya keluarga,
2. proyeksi masa depan dan ketiga visi hidup dari masing masing.
Nah jika ketiga hal ini sudak didapatkan maka proses taaruf selesai, dan berlanjut ke tingkat berikutnya apakan dilanjutkan atau tidak. Jika iya maka segera untuk ditindak lajuti bersama dengan pihak keluarga kedua belah pihak kalau istilah jawanya “rembug tuwo”. Dan ingat pada saat proses menunggu datangnya hari bahagia itu godaan setan akan bertumpuk-tumpuk, akan ada saja yang menggoda kita melalui berbagai macam hal. Jadi untuk menghindari itu perbanyak dzikir mengingat Allah, dan memperbaiki hubungan dengan Allah. Karena dengan itu maka Allah akan senantiasa melindungi hati kita, pikiran kita dan tindakan kita dari hal-hal yang dilarang.
5. Kesimpulan
Dengan demikian jelaslah bahwa pacaran bukanlah alternatif yang ditolerir dalam Islam untuk mencari dan memilih pasangan hidup. Menjadi jelas pula bahwa tidak boleh mengungkapkan perasaan sayang atau cinta kepada calon istri selama belum resmi menjadi istri. Baik ungkapan itu secara langsung atau lewat telepon, ataupun melalui surat. Karena saling mengungkapkan perasaan cinta dan sayang adalah hubungan asmara yang mengandung makna pacaran yang akan menyeret ke dalam fitnah. Demikian pula halnya berkunjung ke rumah calon istri atau wanita yang ingin dilamar dan bergaul dengannya dalam rangka saling mengenal karakter dan sifat masing-masing, karena perbuatan seperti ini juga mengandung makna pacaran yang akan menyeret ke dalam fitnah. Wallahul musta’an (Allah-lah tempat meminta pertolongan).
Adapun cara yang ditunjukkan oleh syariat untuk mengenal wanita yang hendak dilamar adalah dengan mencari keterangan tentang yang bersangkutan melalui seseorang yang mengenalnya, baik tentang biografi (riwayat hidup), karakter, sifat, atau hal lainnya yang dibutuhkan untuk diketahui demi maslahat pernikahan. Bisa pula dengan cara meminta keterangan kepada wanita itu sendiri melalui perantaraan seseorang seperti istri teman atau yang lainnya. Dan pihak yang dimintai keterangan berkewajiban untuk menjawab seobyektif mungkin, meskipun harus membuka aib wanita tersebut karena ini bukan termasuk dalam kategori ghibah yang tercela. Hal ini termasuk dari enam perkara yang dikecualikan dari ghibah, meskipun menyebutkan aib seseorang. Demikian pula sebaliknya dengan pihak wanita yang berkepentingan untuk mengenal lelaki yang berhasrat untuk meminangnya, dapat menempuh cara yang sama.
Dalil yang menunjukkan hal ini adalah hadits Fathimah bintu Qais ketika dilamar oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan Abu Jahm, lalu dia minta nasehat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka beliau bersabda:
“Adapun Abu Jahm, maka dia adalah lelaki yang tidak pernah meletakkan tongkatnya dari pundaknya . Adapun Mu’awiyah, dia adalah lelaki miskin yang tidak memiliki harta. Menikahlah dengan Usamah bin Zaid.” (HR. Muslim)
Para ulama juga menyatakan bolehnya berbicara secara langsung dengan calon istri yang dilamar sesuai dengan tuntunan hajat dan maslahat. Akan tetapi tentunya tanpa khalwat dan dari balik hijab. Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin dalam Asy-Syarhul Mumti’ (130-129/5 cetakan Darul Atsar) berkata: “Bolehnya berbicara dengan calon istri yang dilamar wajib dibatasi dengan syarat tidak membangkitkan syahwat atau tanpa disertai dengan menikmati percakapan tersebut. Jika hal itu terjadi maka hukumnya haram, karena setiap orang wajib menghindar dan menjauh dari fitnah.”
Perkara ini diistilahkan dengan ta’aruf. Adapun terkait dengan hal-hal yang lebih spesifik yaitu organ tubuh, maka cara yang diajarkan adalah dengan melakukan nazhor, yaitu melihat wanita yang hendak dilamar. Nazhor memiliki aturan-aturan dan persyaratan-persyaratan yang membutuhkan pembahasan khusus .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar