TUGAS MAKALAH
MK
PENDIDIKAN
KEWARGANEGARAAN
Disusun Oleh :
Anissa (51214303)
Kelas: 1DF03
Dosen: Helnawaty
UNIVERSITAS GUNADARMA
KATA
PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa
karena dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya saya dapat
menyelesaikan makalah tentang Pendapatan Nasional ini dengan baik meskipun
banyak kekurangan didalamnya. Dan juga kami berterima kasih pada Ibu Helnawaty yang
telah memberikan tugas ini kepada saya.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan kita mengenai pendapatan nasional. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah kami buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun demi perbaikan di masa depan.
Bekasi, 10 April 2015
Penyusun
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Indonesia adalah Negara yang sangat
kaya akan rempah-rempah dan juga memiliki banyak kepulauan. Tidak heran wilayah
Indonesia pada zaman dahulu pernah dijajah oleh Bangsa lain, ini disebabkan
karena wilayah Indonesia kaya akan Sumber Daya Alam nya. Namun sayang sekali
Indonesia belum memiliki Sumber Daya Manusia yang dapat mengelola kekayaan alam
yang ada di Indonesia dengan baik dan semaksimal mungkin.
Indonesia memiliki 17.506 pulau-pulau yang
menjadi batas langsung Indonesia dengan Negara tetangga. Berdasarkan hasil
survey Base Point atau Titik Dasar yang telah dilakukan DISHIDROS TNI AL, untuk
menetapkan batas wilayah dengan negara tetangga, terdapat 183 titik dasar yang
terletak di 92 pulau terluar, sisanya ada di tanjung tanjung terluar dan di
wilayah pantai. Dari 92 pulau terluar ini ada 12 pulau yang harus mendapatkan
perhatian serius.
Akibatnya wilayah perbatasan yang
ada di Indonesia kurang diperhatikan, dan mungkin karena hal tersebut
Negara-negara lain mulai berpikir untuk merebut perbatasan yang ada di
Indonesia. Salah satu kasus yang akan penulis bahas dalam makalah ini adalah “ Sengketa Internasional Batas Wilayah
(Ambalat) Antara Indonesia Dengan Malaysia “
BAB II
PENDAHULUAN
Dalam bidang pendidikan, antara
Indonesia dan Malaysia menjalin hubungan dengan mengadakan pertukaran pelajar
setiap tahunnya. Banyaknya investor-investor dari Malaysia yang berinvestasi di
Indonesia telah sedikit banyak membantu pemerintah Indonesia di dalam
mengentaskan pengangguran. Investor dari Malaysia banyak menanamkan
investasinya dalam industri perkebunan kelapa sawit.
Hal ini tentu menguntungkan bagi kedua belah pihak. Selain itu, di Malaysia
juga banyak di tempatkannya Tenaga Kerja dari Indonesia yang bekerja
sebagai Pembantu Rumah Tangga (PRT), petugas medis, pekerja
bangunan serta tenaga profesional lainnya.
Di samping
hubungan antara Indonesia dan Malaysia terjalin dengan baik, Negara yang
bertetangga ini juga tak sedikit menuai konflik pengakuan terhadap buadaya
tertentu sampai daerah/ wilayah. Misalnya pulau Sipadan dan ligitan. Pulau
Sipadan dan Legitan adalah adalah tanah yang di sengketakan oleh Indonesia dan
Malaysia, tanah ini adalah milik Indonesia tetapi selalu diakui oleh Malaysia
yang serakah dan tidak mau mengalah untuk merebutkan tanah itu. Akhir – akhir ini selalu di perdebatkan
oleh para menteri dan para masyarakat Indonesia karena yang tak terima tanah
milik Indonesia yang kaya akan hasil alam dan tambangnya dan sekaligus pulau
yang eksotis di ambil secara percuma oleh malaysia.
BAB III
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A. Posisi
Kasus
Awal mula kasus
itu dimulai pada tahun 1968, ketika Malaysia bereaksi terhadap perjanjian
kerjasama antara Indonesia dengan Japex (Japan Exploration Company Limited)
tahun 66. Malaysia juga melakukan kerjasama dengan Sabah Teiseki Oil Company
tahun 68, sebagai tanggapan terhadap kegiatan eksplorasi laut di wilayah
Sipadan. Tahun 69, Malaysia mulai melakukan klaim bahwa Sipadan Ligitan
merupakan wilayah Malaysia, yang hal ini langsung di tolak oleh pemerintah
Indonesia. Serangkaian perjanjian, lobi, diplomasi berlangsung dengan cara
“Asian Way”, sebuah cara yang mengedepankan dialog, dengan menghindari konflik
militer. Akhirnya masalah itu menjadi redam dalam tanda kutip, artinya dialog
tentang perselisihan itu dicoba dilakukan dengan cara “sambil minum teh”.
Indonesia
sungguh terbuai dengan model seperti itu sehingga Indonesia tiba-tiba kaget
ketika pada bulan Oktober tahun 91, Malaysia tiba-tiba mengeluarkan peta yang
memasukkan Sipadan dan Ligitan ke wilayah Malaysia, dan tragisnya Indonesia
juga tidak tahu kalau di Sipadan telah dibangun turisme dan arena diving yang
sangat bagus (betapa “kasihannya” Indonesia itu). Kemudian pada tahun 1997
Indonesia dan Malaysia bersepakat untuk menyerahkan masalah tersebut ke
International Court of Justice, the Hague di Belanda.
B.
Putusan
Mahkamah Internasional
Pada tahun 1998
masalah sengketa Sipadan dan Ligitan dibawa ke ICJ kemudian pada hari Selasa 17
Desember 2002 ICJ mengeluarkan keputusan tentang kasus sengketa kedaulatan
Pulau Sipadan-Ligatan antara Indonesia dengan Malaysia. Hasilnya, dalam voting
di lembaga itu, Malaysia dimenangkan oleh 16 hakim, sementara hanya 1 orang
yang berpihak kepada Indonesia. Dari 17 hakim itu, 15 merupakan hakim tetap
dari MI, sementara satu hakim merupakan pilihan Malaysia dan satu lagi dipilih
oleh Indonesia. Kemenangan Malaysia, oleh karena berdasarkan pertimbangan
effectivity (tanpa memutuskan pada pertanyaan dari perairan teritorial dan
batas-batas maritime).
C.
Pembahasan
Penyelesaian
sengketa yang akhirnya diserahakan kepada Mahkamah Internasional ini pada
hakikatnya merupakan keberhasilan diplomasi dari pihak Malaysia dan Indonesia.
Cara damai yang ditempuh Indonesia dan Malaysia akan memberikan dampak yang
besar bagi kawasan Asia Tenggara, seperti misalnya cara penyelesaian kedua
belah pihak (Malaysia-Indonesia) yang menyerahkan persoalan ini seutuhnya
kepada Mahkamah Internasional dapat ditiru sebagai salah satu model
penyelesaian klaim-klaim teritorial lain antar negara anggota ASEAN yang masih
cukup banyak terjadi, misalnya klaim teritorial Malaysia dan Thailand dengan
hampir semua negara tetangganya.
Satu hal yang
perlu disesali dalam mekanisme penyelesaian konflik Sipadan dan Ligitan adalah
tidak dipergunakannya mekanisme regional ASEAN. ASEAN, sebagai satu forum kerja
sama regional, sangat minimal perannya dalam pemecahan perbatasan. Hal ini
karena dipandang sebagai persoalan domestik satu negara dan ASEAN tidak ikut
campur tangan di atasnya. Sesungguhnya, ASEAN sendiri sudah merancang
terbentuknya sebuah Dewan Tinggi (High Council) untuk menyelesaikan
masalah-masalah regional. Dewan ini bertugas untuk memutuskan
persoalan-persoalan kawasan termasuk masalah klaim teritorial.
Namun keberatan
beberapa anggota untuk membagi sebagian kedaulatannya merupakan hambatan utama
dari terbentuknya Dewan Tinggi ini. Akibat jatuhnya Sipadan dan Ligitan ke
tangan Malaysia terjadi dampak domestik yang tak kalah hebatnya, banyak
komentar maupun anggapan bahwa Departemen Luar Negeri-lah penyebab utama
lepasnya Sipadan-Ligitan mengingat seharusnya Deplu dibawah kepemiminan Mentri
Luar Negeri Hasan Wirajuda mampu mempertahankan Sipadan-Ligitan dengan kekuatan
diplomasinya. Memang masih banyak revisi dan peninjauan yang harus dilakukan
para diplomat kita dan juga cara Deplu dalam menangani masalah internasional.
Namun, bukanlah
merupakan hal yang bijaksana bila kita menyalahkan Deplu sebagai satu-satunya
pihak yang menyebabkan lepasnya Sipadan dan Ligitan, mengingat kronologi
konflik Sipadan-Ligitan yang sudah berumur lebih dari empat dasawarsa tersebut.
Kedua negara telah melakukan pertemuan-pertemuan baik formal maupun informal,
secara bilateral maupun melalui ASEAN dalam menyelesaikan sengketa Sipadan dan
Ligitan sejak tahun 1967. Indonesia dan Malaysia juga sama-sama kuat dalam
mengajukan bukti historis terhadap klaim mereka masing-masing.
Akhirnya pada
tanggal 31 Mei 1997 pada akhir masa pemerintahan Soeharto, Soeharto menyepakati
untuk menyerahkan masalah yang tak kunjung selesai ini ke mahkamah
internasional dengan pertimbangan untuk menjaga solidaritas sesama negara
kawasan dan penyelesaian dengan cara damai. Perlu kita tahu di sini adalah
selama jangka waktu yang panjang tersebut pihak Republik Indonesia tidak pernah
melakukan suatu usaha apapun dalam melakukan manajemen dan pemeliharaan atas
Sipadan-Ligitan. Kita seolah mengabaikan kenyataan bahwa secara “de facto”
pulau tersebut telah efektif dikuasai oleh Malaysia.
Bahkan sejak
tahun 1974 Malaysia sudah mulai merancang dan membangun infra struktur
Ssipadan-Ligitan lengkap dengan fasilitas resort wisata. Kita seakan membiarkan
saja hal ini terjadi tanpa melakukan apapun atau bahkan melakukan hal yang
sama. Kesalahan kita ialah kita terlalu cukup percaya diri dengan bukti yuridis
yang kita miliki dan bukti bahwa mereka yang bertempat tinggal di sana adalah
orang-orang Indonesia. Tentu saja bukti ini sangat lemah mengingat bangsa
Indonesia dan bangsa Malaysia berasal dari rumpun yang sama dan agaknya cukup
sulit membedakan warga Indonesia dan warga Malaysia dengan hanya berdasarkan
penampilan fisik maupun bahasa yang dipergunakannya.
Terlebih lagi
sudah menjadi ciri khas di daerah perbatasan bahwa biasanya penduduk setempat
merupakan penduduk campuran yang berasal dari kedua negara. Melihat
pertimbangan yang diberikan oleh mahkamah internasional, ternyata bukti
historis kedua negara kurang dipertimbangkan. Yang menjadi petimbangan utama
dari mahkamah internasional adalah keberadaan terus-menerus dalam (continuous
presence), penguasaan efektif (effectrive occupation) dan pelestarian alam
(ecology preservation).
Ironisnya
ternyata hal-hal inilah yang kurang menjadi perhatian dari pihak Indonesia.
Apabila ditelaah lebih dalam, seharusnya ketiga poin di atas ialah wewenang dan
otoritas dari Departemen Luar Negeri beserta instansi lainnya yang berkaitan,
tidak terkecuali TNI terutama Angkatan Laut, Departemen Dalam Negeri,
Departemen Kelautan, Departemen Pariwisata dan lembaga terkait lainnya.
Sesungguhnya apabila terdapat koordinasi yang baik antar lembaga untuk
mengelola Sipadan-Ligitan mungkin posisi tawar kita akan menjadi lebih baik.
Berkaitan
dengan batas teritorial ada beberapa aspek yang dialami Indonesia. Pertama, Indonesia
masih memiliki “Pulau-pulau tak bernama”, membuka peluang negara tetangga
mengklaim wilayah-wilayah itu. Kedua, implikasi secara militer, TNI AL yang
bertanggung jawab terhadap wilayah maritim amat lemah kekuatan armadanya, baik
dalam kecanggihan maupun sumber daya manusianya. Ketiga, tidak adanya
negosiator yang menguasai hukum teritorial kewilayahan yang diandalkan di forum
internasional. Pembenahan secara gradual sebenarnya dapat dimulai dari tataran
domestik untuk menjaga teritorialnya :
ü Melakukan
penelitian dan penyesuaian kembali garis-garis pangkal pantai (internal waters)
dan alur laut nusantara (archipelagic sea lanes), hal ini perlu segera
dilakukan untuk mencegah klaim-klaim dari negara lain.
ü Mengintensifkan
kehadiran yang terus-menerus, pendudukan intensif dan jaminan pelestarian
terhadap pulau perbatasan. Tidak terpenuhinya unsur-unsur itu menyebabkan
Sipadan-Ligitan jatuh ke Malaysia.
Tantangan
keamanan maritim yang mengemuka memungkinkan konflik antarnegara (inter-state
conflict). Konflik antarnegara merujuk tingkat kompetisi antarnegara untuk
mendapat sumber daya alam dan klaim berkait batas-batas nasional dan
teritorial.
Isu sekuritisasi maritim saat ini masih kurang mendapat perhatian serius, kecuali pada saat- saat tertentu, yaitu ketika kedaulatan kita merasa dilanggar negara lain. Akibatnya fatal, kelengahan pemerintah menggoreskan sejarah pahit, di antaranya, lepasnya Timor Timur dan Sipadan-Ligitan.
Isu sekuritisasi maritim saat ini masih kurang mendapat perhatian serius, kecuali pada saat- saat tertentu, yaitu ketika kedaulatan kita merasa dilanggar negara lain. Akibatnya fatal, kelengahan pemerintah menggoreskan sejarah pahit, di antaranya, lepasnya Timor Timur dan Sipadan-Ligitan.
Dalam relasi
dunia modern sekarang ini, tindakan penyerangan dengan persenjataan dianggap
sebagai langkah konvensional primitif. Oleh karena itu, mengedepankan jalur
diplomatis menjadi pilihan utama dan logis. Namun, kembali lagi adanya
pengalaman pahit terkait lepasnya wilayah-wilayah Indonesia menjadikan publik
menaruh pesimistis atas kemampuan tim diplomatik kita.
Apalagi,
sepertinya kita lalai dalam merawat perbatasan. Atas dasar alasan itu, bisa
jadi wilayah-wilayah lain akan menyusul. Pemerintah juga tidak memiliki upaya
proaktif, dan cenderung reaktif dalam forum diplomatik untuk memperjuangkan
kepentingan Indonesia, termasuk persoalan perbatasan di forum internasional.
Hal ini terlihat dari minimalnya perhatian pemerintah terhadap persoalan
perbatasan dan kedaulatan RI atas negara lain. Contoh yang paling nyata,
tiadanya penamaan atas pulau-pulau “tak bernama’ yang tersebar di wilayah
perbatasan Indonesia. Belum lagi alasan-alasan, misalnya, terkait pelestarian
lingkungan yang masih jauh dari perhatian Pemerintah Indonesia.
BAB IV
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Indonesia mempunyai perbatasan darat
dengan tiga negara tetangga, yaitu Malaysia, Papua Nugini dan Timor Leste.
Sementara perbatasan laut dengan sepuluh negara tetangga, diantaranya Malaysia,
Singapura, Vietnam, Filipina, Papua Nugini, Timor Leste, India, Thailand,
Australia, dan Palau. Hal ini tentunya sangat erat kaitannya dengan masalah
penegakan kedaulatan dan hukum di laut, pengelolaan sumber daya alam serta
pengembangan ekonomi kelautan suatu negara.
Sengketa blok Ambalat antara
Indonesia-Malaysia tercatat telah sering terjadi. Terhitung sejak Januari
hingga April 2009 saja, TNI AL mencatat kapal Malaysia telah sembilan kali
masuk ke wilayah Indonesia. Blok Ambalat dengan luas 15.235 kilometer persegi,
ditengarai mengandung kandungan minyak dan gas yang dapat dimanfaatkan hingga
30 tahun. Bagi masyarakat perbatasan, Ambalat adalah asset berharga karena di
sana diketahui memiliki deposit minyak dan gas yang cukup besar. Kelak, jika
tiba waktunya minyak dan gas tersebut bisa dieksploitasi, rakyat di sana juga
yang mendapatkan dampaknya.
B. SARAN
Dengan kekayaan yang di miliki Indonesia , diharapkan
pemerintah bisa lebih memperhatikan sekali daerah-daerah perbatasan. Jangan
sampai Indonesia kehilangan pulau kembali, untuk itu kita sebagai bangsa
Indonesia harus siap siaga menjaga wilayah Negara kita baik itu di perbatasan
maupun di didaerah perkotaan.
Keberadaan pulau-pulau ini secara
geografis sangatlah strategis, karena berdasarkan pulau inilah batas negara
kita ditentukan. Pulau-pulau ini seharusnya mendapatkan perhatian dan
pengawasan serius agar tidak menimbulkan permasalahan yang dapat menggangu
keutuhan wilayah Indonesia, khususnya pulau yang terletak di wilayah perbatasan
dengan negara negara yang tidak/ belum memiliki perjanjian (agreement) dengan
Indonesia. Dari 92 pulau terluar yang dimiliki Indonesia terdapat 12 pulau yang
harus mendapat perhatian khusus, Pulau-pulau tersebut adalah Pulau Rondo,
Berhala, Nipa, Sekatung, Marore, Miangas, Fani, Fanildo, Dana, Batek, Marampit
dan Pulau Bras.
Jangan takut bersikap tegas, kalau
memang harus perang, rakyat Indonesia pasti mendukung demi keutuhan NKRI.
Karena NKRI adalah harga mati.
DAFTAR PUSTAKA
1. http://static.rnw.nl/migratie/www.ranesi.nl/arsipaktua/ekonomi/shell_ambalat050316-redirected . Selasa, 17 Maret 2015 pukul 10.35
3. http://geopolitikenergi.wordpress.com/2007/05/09/konflik-ambalat-hanya-menguntungkan-penjajah . Selasa, 17 Maret 2015 pukul 11.02
Tidak ada komentar:
Posting Komentar