Rabu, 08 April 2015

Makalah : Krisis Moneter


TUGAS MAKALAH
MK
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
JUDUL: KRISIS MONETER
Disusun Oleh :

Anissa (51214303)

                                     Kelas: 1DF03
                                 Dosen: Helnawaty


LOGO_GUNADARMA.jpg

 







UNIVERSITAS GUNADARMA


 KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya saya dapat menyelesaikan makalah tentang Pendapatan Nasional ini dengan baik meskipun banyak kekurangan didalamnya. Dan juga kami berterima kasih pada Ibu Apriana Anggraeni Bangun yang telah memberikan tugas ini kepada saya.

       Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan kita mengenai pendapatan nasional. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah kami buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.

       Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun demi perbaikan di masa depan.




Bekasi, 10 April 2015


Penyusun


BAB I
PENDAHULUAN


Latar Belakang Masalah

Krisis moneter adalah anjloknya perekonomian suatu negara yang disebabkan oleh hancurnya suatu sistem pemerintahan yang berdampak besar terhadap suatu negara. Indonesia selama perkembangannya telah mengalami beberapa fase pemerintahan. Sebagai negara berkembang, Indonesia sudah sering mengalami krisis moneter. Krisis moneter yang paling parah terjadi pada pertengahan tahun 1997, berawal dari melemahnya mata uang Thailand baht terhadap dollar AS. Pada tanggal 14 dan 15 Mei 1997, nilai tukar baht terhadap dollar AS mengalami gocangan akibat para investor asing mengambil keputusan jual karena tidak percaya lagi terhadap prospek perekonomian dan ketidakstabilan politik negara Thailand.
Sehingga pada tanggal 2 Juli 1997, bank sentral Thailand mengumumkan bahwa nilai tukar baht dibebaskan dari ikatan dollar AS dan meminta bantuan IMF (International Monetary Fund). Pengumuman ini menyebabkan nilai baht terdepresiasi hingga mencapai nilai terendah, yakni 28,20 baht per dollar AS yang menyebabkan nilai dollar menguat, yang kemudian berimbas ke rupiah Indonesia. Sebenarnya krisis yang terjadi di Indonesia bukan hanya karena dipicu oleh melemahnya nilai mata uang Thailand baht terhadap dollar AS saja, tetapi juga disebabkan oleh sistem ekonomi yang dijalankan oleh pemerintah pada saat itu.
Sebelumnya krisis yang terjadi di negara-negara Asia seperti Thailand, Korea Selatan dan Indonesia sudah dapat diramalkan walaupun waktunya tidak dapat dipastikan. Hal ini terlihat dari defisit neraca yang terlalu besar dan terus meningkat pada setiap tahunnya. Selama pemerintahan Presiden Soeharto (Orde Baru), Indonesia menikmati pertumbuhan ekonomi yang mengesankan, dengan kembali membaiknya hubungan politik dengan negara-negara Barat dan adanya kesungguhan pemerintah untuk melakukan rekontruksi dan pembangunan ekonomi, maka arus modal mulai masuk kembali ke Indonesia.
            Namun disamping kelebihan-kelebihan tersebut, terdapat kekurangan pada masa pemerintahan Orde Baru. Melaui kebijakan-kebijakannya Indonesia memang mengalami pertumbuhan ekonomi yang sangat pesat, namun dengan biaya yang sangat mahal dan fundamental ekonomi yang rapuh. Hal inilah yang menyebabkan Indonesia mengalami krisis ekonomi yang diawali dengan krisis pertukaran mata uang terhadap dollar AS. Kecenderungan melemahnya mata uang rupiah semakin menjadi ketika terjadinya aksi mahasiswa pada tanggal 12 Mei 1998 yang dikenal dengan Tragedi Trisakti.
            Akibat krisis moneter yang melanda Indonesia, akhirnya Presiden Soeharto dipaksa mundur dari jabatannya pada tahun 1998, yang kemudian digantikan posisinya oleh Presiden B.J Habibie yang pada saat itu menjabat sebagai Wakil Presiden Indonesia. Walaupun tidak banyak yang dapat beliau lakukan dengan masa kepemerintahan yang hanya selama satu tahun, namun melalui kepemerintahannya, Indonesia sedikit demi sedikit mengalami perbaikan dari segala aspek, baik itu politik, ekonomi dan sistem pemerintahan. Sehingga masa ini di kenal sebagai Era Reformasi. 
 
BAB II
PEMBAHASAN

Krisis moneter yang melanda Indonesia sejak awal Juli 1997, sementara ini telah berlangsung hampir dua tahun dan telah berubah menjadi krisis ekonomi, yakni lumpuhnya kegiatan ekonomi karena semakin banyak perusahaan yang tutup dan meningkatnya jumlah pekerja yang menganggur. Memang krisis ini tidak seluruhnya disebabkan karena terjadinya krisis moneter saja, karena sebagian diperberat oleh berbagai musibah nasional yang datang secara bertubi-tubi di tengah kesulitan ekonomi seperti kegagalan panen padi di banyak tempat karena musim kering yang panjang dan terparah selama 50 tahun terakhir, hama, kebakaran hutan secara besar-besaran di Kalimantan dan peristiwa kerusuhan yang melanda banyak kota pada pertengahan Mei 1998 lalu dan kelanjutannya.
            Krisis moneter ini terjadi, meskipun fundamental ekonomi Indonesia di masa lalu dipandang cukup kuat dan disanjung-sanjung oleh Bank Dunia. Yang dimaksud dengan fundamental ekonomi yang kuat adalah pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, laju inflasi terkendali, tingkat pengangguran relatif rendah, neraca pembayaran secara keseluruhan masih surplus meskipun defisit neraca berjalan cenderung membesar namun jumlahnya masih terkendali, cadangan devisa masih cukup besar, realisasi anggaran pemerintah masih menunjukkan sedikit surplus.
            Yang terjadi adalah, mendadak datang badai yang sangat besar, yang tidak mampu dbendung oleh tembok penahan yang ada, yang selama bertahun-tahun telah mampu menahan berbagai terpaan gelombang yang datang mengancam.
INDIKATOR UTAMA EKONOMI INDONESIA 1990 - 1997

1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
Pertumbuhan ekonomi (%)
7,24
6,95
6,46
6,50
7,54
8,22
7,98
4,65
Tingkat inflasi (%)
9,93
9,93
5,04
10,18
9,66
8,96
6,63
11,60
Neraca pembayaran (US$ juta)
2,099
1,207
1,743
741
806
1,516
4,451
-10,021
Neraca perdagangan
5,352
4,801
7,022
8,231
7,901
6,533
5,948
12,964
Neraca berjalan
-3.24
-4,392
-3,122
-2,298
-2.96
-6.76
-7,801
-2,103
Neraca modal
4,746
5,829
18,111
17,972
4,008
10,589
10,989
-4,845
Pemerintah (neto)
633
1,419
12,752
12,753
307
336
-522
4,102
Swasta (neto)
3,021
2,928
3,582
3,216
1,593
5,907
5,317
-10.78
PMA (neto)
1,092
1,482
1,777
2,003
2,108
4,346
6,194
1,833
Cadangan devisa akhir tahun (US$ juta)
8,661
9,868
11,611
12,352
13,158
14,674
19,125
17,427
(bulan impor nonmigas c&f)
4,7
4,8
5,4
5,4
5,0
4,3
5,2
4,5
Debt-service ratio (%)
30,9
32,0
31,6
33,8
30,0
33,7
33,0

Nilai tukar Des. (Rp/US$)
1,901
1,992
2,062
2.11
2.2
2,308
2,383
4.65
APBN* (Rp. milyar)
3,203
433
-551
-1.852
1,495
2,807
818
456
* Tahun anggaran
Sumber : BPS, Indikator Ekonomi; Bank Indonesia, Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia; World Bank, Indonesia in Crisis, July 2, 1998
Sebagai konsekuensi dari krisis moneter ini, Bank Indonesia pada tanggal 14 Agustus 1997 terpaksa membebaskan nilai tukar rupiah terhadap valuta asing, khususnya dollar AS, dan membiarkannya berfluktuasi secara bebas (free floating) menggantikan sistim managed floating yang dianut pemerintah sejak devaluasi Oktober 1978. Dengan demikian Bank Indonesia tidak lagi melakukan intervensi di pasar valuta asing untuk menopang nilai tukar rupiah, sehingga nilai tukar ditentukan oleh kekuatan pasar semata. Nilai tukar rupiah kemudian merosot dengan cepat dan tajam dari rata-rata Rp 2.450 per dollar AS Juni 1997 menjadi Rp 13.513 akhir Januari 1998, namun kemudian berhasil menguat kembali menjadi sekitar Rp 8.000 awal Mei 1999.

Krisis Moneter dan Faktor-Faktor Penyebabnya

Penyebab dari krisis ini bukanlah fundamental ekonomi Indonesia yang selama ini lemah, hal ini dapat dilihat dari data-data statistik di atas, tetapi terutama karena utang swasta luar negeri yang telah mencapai jumlah yang besar. Yang jebol bukanlah sektor rupiah dalam negeri, melainkan sektor luar negeri, khususnya nilai tukar dollar AS yang mengalami overshooting yang sangat jauh dari nilai nyatanya1 . Krisis yang berkepanjangan ini adalah krisis merosotnya nilai tukar rupiah yang sangat tajam, akibat dari serbuan yang mendadak dan secara bertubi-tubi terhadap dollar AS (spekulasi) dan jatuh temponya utang swasta luar negeri dalam jumlah besar.
Sementara menurut penilaian penulis, penyebab utama dari terjadinya krisis yang berkepanjangan ini adalah merosotnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS yang sangat tajam, meskipun ini bukan faktor satu-satunya, tetapi ada banyak faktor lainnya yang berbeda menurut sisi pandang masing-masing pengamat. Berikut ini diberikan rangkuman dari berbagai faktor tersebut menurut urutan kejadiannya :
1.      Dianutnya sistim devisa yang terlalu bebas tanpa adanya pengawasan yang memadai, memungkinkan arus modal dan valas dapat mengalir keluar-masuk secara bebas berapapun jumlahnya.
2.      Tingkat depresiasi rupiah yang relatif rendah, berkisar antara 2,4% (1993) hingga 5,8% (1991) antara tahun 1988 hingga 1996, yang berada di bawah nilai tukar nyatanya, menyebabkan nilai rupiah secara kumulatif sangat overvalued. Ditambah dengan kenaikan pendapatan penduduk dalam nilai US dollar yang naiknya relatif lebih cepat dari kenaikan pendapatan nyata dalam Rupiah, dan produk dalam negeri yang makin lama makin kalah bersaing dengan produk impor.
3.      Akar dari segala permasalahan adalah utang luar negeri swasta jangka pendek dan menengah sehingga nilai tukar rupiah mendapat tekanan yang berat karena tidak tersedia cukup devisa untuk membayar utang yang jatuh tempo beserta bunganya ditambah sistim perbankan nasional yang lemah.
4.      Permainan yang dilakukan oleh spekulan asing (bandingkan juga Ehrke: 2-3) yang dikenal sebagai hedge funds tidak mungkin dapat dibendung dengan melepas cadangan devisa yang dimiliki Indonesia pada saat itu, karena praktek margin trading, yang memungkinkan dengan modal relatif kecil bermain dalam jumlah besar.
5.      Kebijakan fiskal dan moneter tidak konsisten dalam suatu sistim nilai tukar dengan pita batas intervensi. Sistim ini menyebabkan apresiasi nyata dari nilai tukar rupiah dan mengundang tindakan spekulasi ketika sistim batas intervensi ini dihapus pada tanggal 14 Agustus 1997.
6.      Defisit neraca berjalan yang semakin membesar yang disebabkan karena laju peningkatan impor barang dan jasa lebih besar dari ekspor dan melonjaknya pembayaran bunga pinjaman. Sebab utama adalah nilai tukar rupiah yang sangat overvalued, yang membuat harga barang-barang impor menjadi relatif murah dibandingkan dengan produk dalam negeri.
7.      Penanam modal asing portfolio yang pada awalnya membeli saham besar-besaran dimingimingi keuntungan yang besar yang ditunjang oleh perkembangan moneter yang relatif stabil kemudian mulai menarik dananya keluar dalam jumlah besar.
8.      IMF tidak membantu sepenuh hati dan terus menunda pengucuran dana bantuan yang dijanjikannya dengan alasan pemerintah tidak melaksanakan 50 butir kesepakatan dengan baik.
9.      Spekulan domestik ikut bermain (Wessel et al., hal. 22). Para spekulan inipun tidak semata-mata menggunakan dananya sendiri, tetapi juga meminjam dana dari sistim perbankan untuk bermain.
10.  Terjadi krisis kepercayaan dan kepanikan yang menyebabkan masyarakat luas menyerbu membeli dollar AS agar nilai kekayaan tidak merosot dan malah bisa menarik keuntungan dari merosotnya nilai tukar rupiah.
Di lain pihak harus diakui bahwa sektor riil sudah lama menunggu pembenahan yang mendasar, namun kelemahan ini meskipun telah terakumulasi selama bertahun-tahun masih bisa ditampung oleh masyarakat dan tidak cukup kuat untuk menjungkir-balikkan perekonomian Indonesia seperti sekarang ini. Krisis pecah karena terdapat ketidak seimbangan antara kebutuhan akan valas dalam jangka pendek dengan jumlah devisa yang tersedia, yang menyebabkan nilai dollar AS melambung dan tidak terbendung. Sebab itu tindakan yang harus segera didahulukan untuk mengatasi krisis ekonomi ini adalah pemecahan masalah utang swasta luar negeri, membenahi kinerja perbankan nasional, mengembalikan kepercayaan masyarakat dalam dan luar negeri terhadap kemampuan ekonomi Indonesia, menstabilkan nilai tukar rupiah pada tingkat yang nyata, dan tidak kalah penting adalah mengembalikan stabilitas sosial dan politik.

Program Reformasi Ekonomi IMF

            Menurut IMF, krisis ekonomi yang berkepanjangan di Indonesia disebabkan karena pemerintah baru meminta bantuan IMF setelah rupiah sudah sangat terdepresiasi. Strategi pemulihan IMF dalam garis besarnya adalah mengembalikan kepercayaan pada mata uang, yaitu dengan membuat mata uang itu sendiri menarik. Inti dari setiap program pemulihan ekonomi adalah restrukturisasi sektor finansial.
            Program bantuan IMF pertama ditanda-tangani pada tanggal 31 Oktober 1997. Program reformasi ekonomi yang disarankan IMF ini mencakup empat bidang :
1.      Penyehatan sektor keuangan
2.      Kebijakan fiscal
3.      Kebijakan moneter
4.      Penyesuaian struktural.
            Karena dalam beberapa hal program-program yang diprasyaratkan IMF oleh pihak Indonesia dirasakan berat dan tidak mungkin dilaksanakan, maka dilakukanlah negosiasi kedua yang menghasilkan persetujuan mengenai reformasi ekonomi (letter of intent) yang ditanda-tangani pada tanggal 15 Januari 1998, yang mengandung 50 butir. Saransaran IMF diharapkan akan mengembalikan kepercayaan masyarakat dengan cepat dan kurs nilai tukar rupiah bisa menjadi stabil. Pokok-pokok dari program IMF adalah sebagai berikut:
A.    Kebijakan Makro Ekonomi
o   Kebijakan fiscal
o   Kebijakan moneter dan nilai tukar
B.     Restrukturisasi Sektor Keuangan
o   Program restrukturisasi bank
o   Memperkuat aspek hukum dan pengawasan untuk perbankan
C.    Reformasi Struktural
o   Perdagangan luar negeri dan investasi
o   Deregulasi dan swastanisasi
o   Social safety net
o   Lingkungan hidup

Setelah pelaksanaan reformasi kedua ini kembali menghadapi berbagai hambatan, maka diadakanlah negosiasi ulang yang menghasilkan supplementary memorandum pada tanggal 10 April 1998 yang terdiri atas 20 butir, 7 appendix dan satu matriks. Cakupan memorandum ini lebih luas dari kedua persetujuan sebelumnya, dan aspek baru yang masuk adalah penyelesaian utang luar negeri perusahaan swasta Indonesia. Jadwal pelaksanaan masing-masing program dirangkum dalam matriks komitmen kebijakan struktural. Strategi yang akan dilaksanakan adalah :
1.      Menstabilkan rupiah pada tingkat yang sesuai dengan kekuatan ekonomi Indonesia
2.      Memperkuat dan mempercepat restrukturisasi sistim perbankan
3.      Memperkuat implementasi reformasi struktural untuk membangun ekonomi yang efisien dan berdaya saing
4.      Menyusun kerangka untuk mengatasi masalah utang perusahaan swasta
5.      Kembalikan pembelanjaan perdagangan pada keadaan yang normal, sehingga ekspor bisa bangkit kembali
Ke-tujuh appendix adalah masing-masing :
1.      Kebijakan moneter dan suku bunga
2.      Pembangunan sektor perbankan
3.      Bantuan anggaran pemerintah untuk golongan lemah
4.      Reformasi BUMN dan swastanisasi
5.      Reformasi struktural
6.      Restrukturisasi utang swasta
7.      Hukum Kebangkrutan dan reformasi yuridis.

Dampak Dari Krisis Moneter

Krisis Moneter membawa dampak yang kurang baik bagi Negara yang mengalaminya, ini disebabkan karena kurs nilai tukar valas, khususnya dollar AS, yang melambung tinggi. Dampak yang terlihat seperti :
Ø  Banyak perusahaan yang terpaksa mem-PHK pekerjanya dengan alasan tidak dapat membayar upah para  pekerjanya sehingga menambah angka pengangguran
Ø  Pemerintah kesulitan menutup APBN
Ø  Harga barang yang naik cukup tinggi, yang mengakibatkan masyarakat kesulitan mendapat barang-barang kebutuhan pokoknya
Ø  Utang luar negeri melonjak
Ø  Harga BBM naik
Ø  Kemiskinan juga termasuk dampak krisis moneter
Ø  Meningkatnya jumlah penduduk yang miskin tidak terlepas dari jatuhnya nilai mata uang yang tajam, yang menyebabkan terjadinya kesenjangan antara penghasilan yang berkurang akibat PHK atau naik sedikit dengan pengeluaran yang meningkat tajam karena tingkat inflasi yang tinggi.

Disaat krisis itu terjadi banyak pejabat yang melakukan korupsi. Sehingga mengurangi pendapatan para pekerja yang lain. Banyak perusahaan yang meminjam uang pada perusahaan Negara asing dengan tingkat bunga yang lumayan tinggi, hal itu menambah beban utang Negara. Dampak dari krisis moneter lebih banyak yang negative dibandingkan dampak  positifnya. Itu di karenakan krisis ini mengganggu kesejahteraan masyarakat. 
                                                    
Ciri Negara Yang Mengalami Krisis Moneter

Ciri ciri suatu negara yang rentan terhadap krisis moneter :
1.      Memiliki jumlah hutang luar negeri yang cukup besar
2.      Mengalami inflasi yang tidak terkontrol
3.      Defisit neraca pembayaran yang besar
4.      Kurs pertukaran mata uang yang tidak seimbang
5.     Tingkat suku bunga yang diatas kewajaran Jika ciri ciri di atas dimiliki oleh sebuah negara, maka dapat dipastikan Negara tersebut hanya menunggu waktu mengalami krisis ekonomi.

Kebijakan Moneter Dalam Menangani Krisis Moneter

Macam-macam kebijakan moneter dalam rangka mengatasi krisis moneter :
1.      Operasi pasar terbuka (Open market operation) terbuka adalah cara mengendalikan uang yang beredar dengan menjual atau membeli surat berharga pemerintah (government security). Jika ingin menambah  jumlah uang beredar, pemerintahan akan membeli surat berharga pemerintah.  Namun, bila ingin jumlah uang yang beredar berkurang, maka pemerintah akan menjual surat berharga pemerintah kepada masyarakat.

2.      Fasilitas Diskonto (Discount Rate) adalah pengaturan jumlah uang beredar dengan memainkan tingkat bunga bank sentral pada bank umum. Bank umum kadang-kadang mengalami kekurangan uang sehingga harus meminjam ke bank sentral. Untuk membuat jumlah uang bertambah, pemerintah menurunkan tingkat bunga bank sentral, serta sebaliknya menaikan tingkat bunga demi membuat uang yang beredar  berkurang.

3.      Rasio cadangan wajib (Reserve Requirement Ratio) adalah mengatur jumlah uang yang beredar dengan memainkan  jumlah dana cadangan perbankan yang harus disimpan oleh pemerintah. Untuk menambah jumlah uang, pemerintah menurunkan rasio cadangan wajib. Untuk menurunkan jumlah uang beredar, pemerintah menaikan rasio.

4.      Himbauan moral (moral persuasion) adalah kebijakan moneter untuk mengatur jumlah uang beredar dengan jalan member himbauan kepada pelaku ekonomi. Contohnya seperti menghimbau perbankan pemberi kredit untuk berhati-hati dalam mengeluarkan kredit untuk mengurangi jumlah uang beredar dan menghimbau agar bank meminjam uang lebih ke bank sentral untuk memperbanyak jumlah uang beredar pada perekonomian.
 
BAB III
KESIMPULAN

A.    Kesimpulan
Sebagai salah satu negara berkembang, Indonesia tentu saja sering mengalami krisis moneter. Krisis moneter yang paling parah terjadi pada pertengahan tahun 1997, pada saat pemerintahan Presiden Soeharto. Padahal sebelumnya, pertumbuhan ekonomi di Indonesia pada saat itu sangat mengesankan, bahkan mendapat pujian dari Bank Dunia sebagai negara Asia berkinerja tinggi.
Namun, ketika krisis finansial mulai melanda kawasan Asia yang di awali dengan melemahnya nilai tukar Thailand baht terhadap dollar AS, menyebabkan mata uang dollar semakin menguat dan akhirnya berimbas ke rupiah. Hal ini menyebabkan nilai tukar rupiah merosot, dari Rp. 2.500 per dollar AS, menjadi Rp. 3.000 per dollar AS pada minggu ke dua Juli 1997. Bank Indonesia berusaha membuat kebijakan dengan melebarkan rentang kendali rupiah, namun krisis moneter, yang diikuti dengan semakin menipisnya tingkat kepercayaan, membuat nilai rupiah semakin sulit dikontrol.
Langkah Presiden Soeharto mengundang Dana Moneter Internasional pada 8 Oktober 1997 tidak banyak membantu, justru sebaliknya semakin menambah beban hutang yang harus di tanggung rakyat Indonesia. Kebijakan pemerintah menutup 16 bank membuat pelaku usaha semakin hilang arah. Nilai rupiah semakin terperosok pada level Rp. 5.097 per dollar AS. Pada 8 Januari 1998, rupiah semakin melemah menjadi Rp. 9.800 per dollar AS dan mencapai Rp. 11.050 pada akhir Januari 1998.
Jika dicermati, krisis moneter yang terjadi di Indonesia tidak hanya disebabkan oleh krisis finansial yang melanda kawasan Asia saja, tetapi juga di sebabkan oleh fundamental ekonomi Indonesia yang lemah. Selain itu, akibat melemahnya nilai rupiah terhadap dollar menyebabkan Indonesia kesulitan membayar hutang luar negeri yang sudah menumpuk sebelum krisis moneter terjadi. Hal ini akhirnya berdampak pada kegiatan ekonomi di dalam negeri. Banyak perusahaan-perusahaan yang melakukan PHK, yang akhirnya semakin menambah jumlah pengangguran di Indonesia. Selain itu, harga bahan-bahan pokok pun meroket naik dan mengalami kelangkaan. Angka kemiskinan semakin bertambah. Banyak rakyat Indonesia yang menderita.

Hal ini akhirnya memicu kerusuhan-kerusuhan yang dilakukan para cendikiawan dan mahasiswa, yang menuntut Presiden Soeharto untuk mengundurkan diri dari jabatannya. Rangkaian aksi kerusuhan mencapai puncaknya dengan meletusnya Tragedi Trisakti pada 12 Mei 1998. Pada waktu itu, mahasiswa Universitas Trisakti sedang melancarkan aksi unjuk rasa, namun mereka di hadang oleh aparat keamanan, dan terjadilah bentrokan yang mengakibatkan tewasnya empat orang mahasiswa akibat tembakan peluru tajam.
Kerusuhan juga berlangsung di beberapa daerah, telah menimbulkan korban ratusan jiwa dan harta benda. Aksi-aksi kekerasan massa, perusakan, pembakaran, penjarahan, hingga tindakan asusila, menimbulkan kesedihan dan luka yang mendalam bagi bangsa Indonesia. Dengan kondisi negara yang kacau balau, diantara para demonstran yang tidak juga berhenti melakukan kerusuhan, akhirnya pada tanggal 21 Mei 1998 Presiden Soeharto resmi mengundurkan diri dari jabatannya yang kemudian di gantikan oleh B.J Habibie yang pada saat itu menjabat sebagai Wakil Presiden.
Walaupun banyak masyarakat yang meragukan kemampuannya untuk memimpin bangsa Indonesia, tetapi B.J Habibie telah menunjukan beberapa prestasinya yang mengesankan. Jika di bandingkan dengan kondisi Indonesia pada saat mengalami krisis moneter tahun 1997, pada tahun 1999 telah mengalami perbaikan yang berarti. Pada masanya, Presiden B.J Habibie telah berhasil mengurangi tingkat kemiskinan dan pengangguran masyarakat Indonesia. Nilai tukar rupiah kembali menguat serta laju inflasi mulai stabil, bahkan berkisar pada 2% saja. Selain itu kondisi perbankan di Indonesia mulai kembali sehat.

B.      Saran
Kita sebagai generasi muda hendaknya mengambil pelajaran dari peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi pada saat indonesia mengalami krisis moneter. Berfikir sebelum bertindak sangat diperlukan. Jangan sampai mengambil tindakan yang dapat merugikan semua kalangan seperti tawuran atau demo yang berakhir dengan anarkis sehingga memakan korban jiwa. Dan bagi pemerintah hendaknya lebih memperhatikan sistem perekonomian di indonesia sehingga krisis moneter seperti yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 tidak terulang kembali.

DAFTAR PUSTAKA

1.      http://www.chynsoncomputer.com/krisis-moneter/ . Kamis, 19 Maret 2015 pukul 20.37
-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar